Minggu, 28 Februari 2016

laskar pelangi

Sinopsis Novel Laskar Pelangi


Penulis: Andrea Hirata
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun Pertama terbit: 2005
Jumlah Halaman: 529


Novel berjudul Laskar Pelangi ini adalah novel pertama dari serangkaian tetralogi milik Andrea Hirata. Buku lanjutan Laskar Pelangi ini, berturut-turut adalah Sang Pemimpi, Endesor. serta Maryamah Karpov. Laskar Pelangi sendiri telah menjadi buku sastra terlaris sepanjang sejarah perbukuan di Indonesia. Dan perkembangan terakhirnya, novel apik ini telah diterbitkan di berbagai benua dalam berbagai bahasa. Apa yang menarik dari novel Laskar Pelangi ini?

Secara garis bersar, novel ini bercerita kehidupan kanak-kanak beberapa bocah di Belitong. Andrea Hirata memulainya dengan kisah miris dunia pendidikan di Indonesia dimana sebuah sekolah yang keurangan murid hendak ditutup. Sekolah tersebut adalah SD Muhammadiyah di Gantung Belitung Timur. Namun, karena murid yang terdaftar genap 10, sekolah dengan bangunan seadanyatersebut tetap diijinkan beraktifitas seperti biasanya. Ke-sepuluh murid tersebut adalah para laskar pelangi. Nama yang diberikan guru mereka bernama Bu Mus, oleh karena kegemaran mereka terhadap pelangi. Siapa saja mereka?

Tokoh dalam novel ini adalah Ikal, Lintang, Sahara, Mahar, A Kiong, Syahdan, Kucai, Borek, Trapani, dan juga Harun. Mereka adalah sahabat yang kisahnya memesona dunia lewat tangan dingin sang penulis. Buku laskar pelangi bercerita keseharian mereka di sekolah dan di lingkungan sosial. Mereka adalah anak-anak desa dengan tekad luar biasa. Perjalanan mereka dipenuhi kejadian yang tak terduga. Secara perlahan mereka menemukan keunggulan ddalam diri dan persahabatan. Ini mungkin yang menjadi titik fokus Andrea Hirata. Ia juga piawai menyisip komedi dalam kisah ini.

Sudut pandang bercerita dalam novel ini menggunakan orang pertama yakni “aku”. Aku sendiri adalah si Ikal. Ia anak yang pandai meski berada di urutan kedua setelah Lintang, bocah terpandai di dalam kelas mereka. Si Ikal ini menaruh minat yang besar pada sastra. Hal ini terlihat dari kegemarannya menulis puisi. Lain lagi dengan tokoh Lintang. Ia digambarkan sebagai anak yang sangat jenius. Orangtuanya seorang nelayan, yang miskin dan hanya tidak memiliki perahu. Mereka memiliki keluarga dalam jumlah yang melimpah, 14 kepala. Lintang sangat suka matematika. Namun, cita-citanya menjadi seorang ahli matematika harus terpangkas dengan tuntutan membantu orangtua menafkahi keluarga. Terlebih saat ayahnya meninggal.
Tokoh lainnya adalah Sahara. Ia merupakan anak perempuan satu-satunya dalam cerita ini. Ia berpendirian kuat dan cenderung keras kepala. Sementara itu, Mahar, ia digambarkan bertubuh ceking dan mencintai seni. Ia suka menyanyi dan gemar pada okultisme. Tokoh berikutnya adalah A kiong. Dari namanya sangat jelas kalau ia merupakan keturunan Tionghoa. Ia sangat menyukai Mahar dan mengikutinya kemanapun. Ia digambarkan tak rupawan tetapi hatinya “tampan”.
Lanjut ke Syahdan. Perangainya ceria meski ia tak pernah menonjol dalam kelas. Sementara itu Kucai, adalah tokoh dalam cerita yang didaulat menjadi ketua kelas. Ia digambarkan menderita penyakit rabun jauh sebab ia kekurangan gizi. Borek, Trapani dan Harun adalah anggota laskar` pelangi yang terakhir. Borek digambarkan sebagai anak yang terobsesi dengan otot. Ia ingin menjadi lelaki yang paling macho. Trapani, ia tampan dan pandai. Ia lengket dengan sang ibu. Terakhir, Harun. Ia istimewa sebab ia berbeda dengan anak-anak lainnya. Ia mengalami keterbelakangan mental. Namun menurut beberapa orang, tokoh Harun ini digambarkan dengan cukup manis sehingga banyak yang jatuh cinta pada sosoknya.

Novel laskar pelangi berkisah perjuangan hidup kesepuluh anak ini menghidupkan cita-cita di antara kehidupan mereka yang berat. Ada dinamika di dalamnya. Manis meski berat. Kisah khas anak-anak yang memandang dunia dengan ambisi yang sederhana. Andrea Hirata, meski banyak dihujat sebab mengklaim cerita ini nyata, memang terkesan berlebihan dalam beberapa hal. Namun toh, sebagai novel pembangun, Laskar Pelangi berhasil merubah secuil dunia pendidikan kita, merecharge semangat mereka yang lain untuk meraih ilmu.


sumber;  http://sinopsisnovelku.blogspot.co.id/2013/02/sinopsis-novel-laskar-pelangi.html

Minggu, 21 Februari 2016

lirik lagu kau berubah + rasa ini

Lirik Lagu Prilly Latuconsina - Rasa Ini

Indahnya Yang ku rasa
Bila berdua denganmu
Terasa indah

Bahagia Didekatmu
Ku harap bisa Selalu
Dengan dirimu

Bila ku berharap
Akankah rasa ini
Berakhir bahagia

Rasa ini Semakin dalam
Semakin membuat aku jatuh
Kedalam cintamu

Rasa ini Tak ku bayangkan
Bila tak bisa bersama dirimu
Aku sepi

Bila ku berharap
Akankah rasa ini
Berakhir bahagia

Rasa ini Semakin dalam
Semakin membuat aku jatuh
Kedalam cintamu

Rasa ini Tak ku bayangkan
Bila tak bisa bersama dirimu
Aku sepi

Tak akan Ada yang mampu
Merubah semua Perasaan ini
Ku harap Kau merasakan
Indahnya rasa dalam Hati ini

Rasa ini Semakin dalam
Semakin membuat aku jatuh
Kedalam cintamu

Rasa ini Tak ku bayangkan
Bila tak bisa bersama dirimu
Aku sepi

Rasa ini Semakin dalam
Semakin membuat aku jatuh
Kedalam cintamu

Rasa ini Tak ku bayangkan
Bila tak bisa bersama dirimu
Aku sepisepi



Lirik Lagu Prilly Latuconsina - Kau Berubah

Dirimu kini berubah dimataku
Ku tak mengerti dengan semua alasanmu
Dahulu kamu yang selalu menjaga
Kau selalu ada tanpa aku harus meminta

Dan sampai kini aku tak bisa berada jauh darimu
Dan ku selalu mengerti akan dirimu

Ku kini berusaha untuk menjaga hatimu 
tapi kau tak mengerti aku
Tak ada lagi kenangan indah sewaktu dulu
Dan semuanya kini telah berubah

Kau selalu ada tanpa aku harus meminta
Dan sampai kini aku tak bisa berada jauh darimu
Dan ku selalu mengerti akan dirimu

Ku kini berusaha untuk menjaga hatimu 
tapi kau tak mengerti aku
Tak ada lagi kenangan indah sewaktu dulu
Dan semuanya kini telah berubah

Ku kini berusaha untuk menjaga
hatimu tapi kau tak mengerti aku
Tak ada lagi kenangan indah sewaktu dulu
Dan semuanya kini telah berubah








Sabtu, 20 Februari 2016

Dia Adalah Dilanku 1991


Monday, July 13, 2015

Review: Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1991 - Pidi Baiq

Paperback Quotes:

"Jika aku berkata bahwa aku mencintainya, maka itu adalah sebuah pernyataan yang sudah cukup lengkap."
-Milea

"Senakal-nakalnya anak geng motor, Lia, mereka shalat pada waktu ujian praktek Agama."
-Dilan

.....

I honestly have mixed feelings about this book.

Para fans Dilan pasti tau kalau buku “Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1991” ini merupakan sekuel dari “Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990”—yang pernah saya tulis review-nya di sini. Cerita dari buku kedua ini dimulai pas dari ending buku pertama, yaitu ketika Milea resmi berpacaran dengan Dilan. Tidak cukup hanya secara lisan, mereka juga menyatakannya di atas kertas bermaterai. Untuk dokumen perasaan, kata Dilan. Nah, setelah “peresmian” hubungan mereka di warung Bi Eem, Dilan pun mengantar Milea pulang menggunakan sepeda motornya. Adegan boncengan naik motor berdua ini, yang tentu aja terjadi nggak hanya sekali, menjadi salah satu hal favorit saya dari buku kedua ini, karena percakapan absurd nan manis khas Dilan-Milea seringnya terjadi di atas motor!

"'Aku bisa menyihir kamu jadi tambah erat meluknya,' katanya.
'Gak usah disuruuuh…,' kataku berseru bagai bisa menembus suara hujan.
'Kenapa?' tanya Dilan.
'Bisa sendiriiiiii!!!'"

HAHAHAHAH sumpah ya, adegan-adegan macam begitu tuh yang suka bikin saya nyeletuk, “Sa ae lu, Dilan.” :)) Tapi, tentu aja hubungan Dilan dan Milea nggak selamanya manis begitu. Kang Adi, guru les privat Milea di buku pertama, masih saja berusaha untuk PDKT dengan Milea. Belum lagi ada tokoh baru bernama Yugo, saudara jauh Milea, yang ternyata juga menyukai gadis itu. Well, sejujurnya saya kurang bisa membayangkan cantiknya Milea itu seperti apa, tapi kayaknya cantik buanget, kok sampai seorang calon guru magang di sekolahnya pun ikutan naksir. Namun, masalah terbesar yang muncul dalam hubungan Dilan dan Milea bukan berasal dari fans Milea—justru Dilan lah sumbernya! Masih ingat, kan, kalau Dilan itu ikutan geng motor? Berulang kali Milea menegur Dilan bahwa ia nggak suka kalau Dilan bergabung dengan geng motor, karena Dilan jadi doyan berantem dan ujung-ujungnya membuat Milea khawatir. Awalnya, jujur aja saya menganggap sepele masalah ini karena saya pikir, “Ah, pasti ntar Dilan juga nurut. Dilan kan sayang banget sama Milea.” LAH KOK MALAH NGGAK SELESAI-SELESAI WTF?! Yang jelas, masalah Dilan dan geng motor ini berpengaruh banget ke ending bukunya yang—sumpah!—bikin sedih banget. Padahal saya udah kena spoiler endingnya bahkan sebelum beli bukunya, tapi tetep aja ngerasa nyesek pas selesai baca. Kalau buku pertama bikin perasaan saya berbunga-bunga, buku kedua ini sukses bikin saya patah hati. Siap-siap aja.

Sama seperti buku pertama, buku kedua ini juga ditulis dari sudut pandang Milea. Jadi sebetulnya seluruh kisahnya dengan Dilan di tahun 1990 dan 1991 merupakanflashback, sedangkan Milea masa kini berada di tahun 2015. Pada bagian awal buku kedua ini, Milea juga sedikit menceritakan kembali kisahnya dengan Dilan di buku pertama, kayak semacam perkenalan singkat. Di satu sisi, hal tersebut dapat membantu mereka yang nggak membaca buku pertama untuk bisa tetap nyambung dan menikmati kisah Dilan dan Milea di buku kedua ini. Di sisi lain, para pembaca yang mengikuti dari buku pertama bisa saja bosan dan merasa bahwa hal tersebut malah bersifat repetitif. Kalau saya sendiri sih nggak merasa terganggu, justru senang karena bisa sedikit nostalgia dengan zaman PDKT Dilan dan Milea. EHEHEHEHE.

YA GIMANA KAN, justru cara PDKT-nya Dilan di buku pertama itu yang bikin saya jatuh cinta banget sama dia. Bener-bener yang jatuh cinta head over heels karena bagi saya Dilan itu karismatik. Sayangnya, di buku kedua ini, karisma itu seolah hilang. Nggak hilang, sih, tapi agak mengabur. Mungkin karena frekuensi kemunculan si Dilan nggak sebanyak di buku pertama, selain karena karakternya yang memang menurut saya jadi melemah justru ketika konfliknya lebih berkembang. Tapi, tenang aja, Dilan masih unik, kok, masih doyan ngegombalin Milea, pemikirannya masih nyeleneh tapi masuk akal, masih suka bicara hal-hal absurd, masih sesekali nulis puisi. Saya suka juga dengan hubungan Dilan dan Bunda yang kayaknya asik banget. 

"'Dia itu diam, bukan karena baik.'
‘Karena apa?’
'Karena, gak berani. Karena, takut. Gak siap dimarahin.'
Aku diam.
'Harusnya, dia juga dimarah karena penakut. Dunia butuh orang pemberani. Yes?'
Aku diam.
'Kamu pikir bandel itu gampang? Susah. Harus tanggung jawab sama yang dia udah perbuat,' kata Dilan lagi."

"'Gimana, ya?' Dilan bagai mikir. 'Dulu, waktu kecil,' Dilan mengenang. 'Aku nyuruh Disa ngambil tas di kamar. Terus, si Bunda bilang, jangan nyuruh-nyuruh, katanya, kerjain sendiri.'
'Itu, sih, negur, bukan marah.'
'Iya. Nah, waktu si Bunda nyuruh aku shalat, aku jawab aja: Bunda, jangan nyuruh-nyuruh! Kerjain sendiri.'"

HAHAHAHAH kampret emang si Dilan. Tapi saya suka dengan Bunda yang juga dekat dengan Milea, bikin pengin punya mertua kayak Bunda yang pengertian banget. Sayangnya, karakter Milea seolah-olah "mengikuti" melemahnya karakter Dilan. Tentu aja ia masih cantik dan pintar, tapi ada saat-saat di mana saya mengerutkan kening dan berpikir, "Kok Milea gini, sih?" Saya ngerasa dia jadi lebih.... drama. Ada beberapa sikapnya terhadap kejadian-kejadian tertentu yang menurut saya terlalu berlebihan. Kayak pas Yugo dan Ibunya datang ke rumah Milea untuk meminta maaf atas tindakan buruk yang dilakukan Yugo terhadap Milea. Lalu tiba-tiba Dilan datang dan Milea langsung aja menggaet Dilan ke tengah-tengah ruang tamu, yang saat itu di sana juga ada Ayah dan Ibu Milea. Nggak hanya memperkenalkan Dilan, Milea juga dengan lantang bilang bahwa Dilan adalah pelindungnya, bahwa Dilan membela dirinya hingga terluka. Ya, saya tau kamu bangga dengan Dilan, Milea, tapi nggak usah segitunya juga. Yang jelas saya ngerasa bahwa Milea jadi lebih emosional di buku kedua ini.

Mengenai ending, sejak selesai baca buku pertama dan tau bahwa kisah Dilan memiliki sekuel, sejujurnya saya udah menduga bahwa akhir cerita Dilan dan Milea bakal seperti itu. Setelah itu saya juga kena spoiler di Twitter—yang ternyata bener sesuai dugaan saya. TAPI YA TETEP NGGAK TERIMA DAN SEDIH BANGET AJA GITU PAS SELESAI BACA. Saya beli buku kedua ini tanggal 9 Juli lalu, bareng temen saya yang dulu juga baca buku pertamanya. Malemnya, saya ngebut baca karena nggak sabar banget pengin tau lanjutan cerita Dilan dan Milea. Besoknya, pas akhirnya selesai baca, saya mewek sendirian karena teman saya masih separuh jalan bacanya. Begitu dia selesai, dia langsung kirim chat ke saya, marah-marah pake capslock, katanya nggak bisa move on. I think it was her first ever book hangover she's ever experienced. :)) Saya sendiri bahkan belum sanggup mau baca buku yang lain, masih kebayang-bayang Dilan dan Milea—terutama Dilan. Mungkin setelah ini saya mau baca ulang buku Dilan yang pertama, mau menetralisir perasaan biar nggak terlalu patah hati.

P.S: Denger-denger Pidi Baiq mau menulis kisah Dilan dan Milea dari sudut pandang Dilan. SEMOGA ITU BENER, YA! Aamiin? Aamiin!



Dia Adalah Dilanku 1990


Rabu, 05 Agustus 2015


DILAN, DIA ADALAH DILANKU TAHUN 1990 (Edisi Revisi)




1. AKU

1
Namaku Milea. Milea Adnan Hussain. Jenis kelamin perempuan, dan tadi baru selesai makan jeruk.

Nama belakangku, diambil dari nama ayahku. Seseorang yang aku kagumi, dan dia adalah prajurit TNI Angkatan Darat. Dia lahir di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat.

Ibuku, namanya Marissa Kusumarini. Oleh teman-temannya biasa dipanggil Icha. Dia mojang Bandung yang lahir di Buah Batu. Sebelum dinikah dan lalu diboyong ke Jakarta oleh ayahku, ibuku adalah seorang vocalist band yang lumayan dikenal di masyarakat musik Bandung pada masanya.

Ibuku, meski waktu itu masih remaja, tapi sudah bermain musik sama orang-orang yang sudah tua dan keren, seperti Uwak Gito Rollies, Kang Deddy Stanza. Juga dengan Kang Harry Rusli, yang waktu itu bikin kelompok musik Gang of Harry Roesli. Dan kata ibu, mereka semua adalah gurunya.

Menurutku, ibu punya suara yang bagus. Sepanjang waktu selalu siap untuk nyanyi atau bersenandung di mana saja, terutama di kamar mandi dan di dapur ketika masak. Dia juga suka bermain gitar sambil nyanyi di ruang tamu dan menyebut nama Bee Gees ketika kutanya lagu siapa itu?
“Ini judulnya 'I Started A Joke',” jawab ibu.
“Bagus! Aku suka.”

Oleh dirinya, musik benar-benar menjadi bagian dari keluarga. Dan ayah mendukungnya dengan kekuatan militer.

Aku merasa bersemangat tentang hal ini. Dia menyambut anak-anaknya kepada pengalaman seninya. Membantuku untuk melihat banyak hal dalam lebih dari satu sudut pandang. Menjadi terbuka untuk semua ekspresi. Ini menjadi hal penting untuk kau bisa memahami kepribadianku.

2
Sejak kecil, aku tinggal di Jakarta, yaitu di daerah kawasan Slipi. Tahun 1990, ayahku dipindah tugas ke Bandung, sehingga ibuku, aku, adik bungsuku, pembantuku, dan semua barang-barang di rumah pun jadi pada ikut pindah.

Rumahku, yang di Buah Batu, tepatnya di Jalan Banteng, adalah milik Kakekku, Bapak Abidin, yaitu ayah dari ibuku. Tapi, kakekku sudah meninggal pada bulan Mei tahun 1989.

Kabar bahwa kami mau pindah ke Bandung, membuat nenek sangat senang dan meminta kami untuk tinggal di rumahnya. Tapi sayang, tahun 1990, kira-kira sebulan sebelum kami pindah, nenekku wafat.
Rumah nenek yang berukuran type 70 itu, kemudian jadi milik ibuku sepenuhnya, karena ibuku anak tunggal. Ada halaman di depannya, meskipun ukurannya tidak luas, tapi cukup. Tempat tumbuh berbagai bunga dan satu pohon jambu, yaitu jambu batu, yang ibuku suka kesel kalau sudah mulai banyak ulatnya.

3
Aku juga pindah sekolah ke SMA Negeri yang ada di daerah Buah Batu, Bandung.

Bagiku, itu adalah sekolah yang paling romantis sedunia, atau kalau enggak, minimal se-Asia, lah. Bangunannya sudah tua, tapi masih bagus karena keurus.

Di halaman depan sekolah, ada tumbuh pohon besar. Cabangnya banyak dan bagus kalau dilihat senja hari, dan siang kalau mendung, juga pagi kalau mau. Sebagian orang percaya pohon itu berhantu, tapi aku gak takut, kecuali kalau harus tidur sendirian di situ malam hari.

Tahun 2001, waktu aku datang untuk reuni, aku sudah tidak melihat ada pohon itu lagi di sekolah. Entah kapan ditebangnya.

Dulu, jalan yang ada di depan sekolahku, cuma jalan biasa. Lebarnya kira-kira tiga meter dan belum banyak kendaraan yang lewat, termasuk angkot. Sehingga untuk bisa nyampe di sekolah, aku harus mau berjalan sepanjang kira-kira 300 meter, yaitu setelah aku turun dari angkot di daerah
pertigaan jalan itu.

Sekarang jalan itu sudah berubah, sudah jadi jalan raya yang dipadati oleh banyak kendaraan. Dulu, motor juga belum banyak. Hanya beberapa orang saja yang pake. Sebagian besar bepergian dengan angkot atau bemo.

Rasanya, waktu itu, Bandungnya masih sepi, masih belum banyak orang. Tiap pagi masih suka ada kabut dan hawanya cukup dingin, seperti menyuruh orang untuk memakai sweater atau jaket kalau punya. Dan kalau cuaca sangat dingin, akan keluar uap dari mulutmu, yaitu ketika kau bicara.

Bagiku, selain bagus dan romantis, sekolah itu adalah tempat khusus yang menyimpan kenangan masa laluku ketika masih remaja, terutama menyangkut seseorang yang pernah bersamaku, yang
pernah selalu mengisi hari-hariku.

Itu adalah kenangan yang paling susah kulupakan, bahkan ketika aku ingin. Dan malam ini akan aku ceritakan kisahnya, bersama rindu yang tak bisa kuelakkan

4
Kisah itu akan aku tulis semuanya sesuai dengan apa yang terjadi waktu itu, meskipun tidak akan mungkin detail, tetapi itulah intinya. Beberapa nama tempat dan nama orang ada yang sengaja kusamarkan, untuk tidak merembet menjadi suatu persoalan dengan pemilik tempat dan orang yang bersangkutan.

Semua, akan kutulis dengan menggunakan cara si dia di dalam bergaya bahasa. Entah gaya apa, pokoknya kalau dia bicara, bahasa Indonesianya cenderung agak Melayu dan nyaris seperti baku. Kedengernya sedikit tidak lazim, seperti bahasa Melayu Lama yang biasa digunakan oleh Sutan Takdir Alisyahbana.

Tapi, itu bukan hal yang penting untuk kita persoalkan, ini cuma caraku saja untuk sekadar bisa mengenang khas dari dirinya

5
Sebelumnya, aku mau cerita dulu di mana posisiku yang sekarang.

Malam ini, aku sedang di ruang kerjaku bersama hot lemon tea dan lagu-lagu Rolling Stones, di kawasan Jakarta Pusat yang gerah.

Mari kita mulai, dan inilah ceritanya:


2. SANG PERAMAL


1
Pagi itu, di Bandung, pada bulan September tahun 1990, setelah turun dari angkot, aku berjalan bersama yang lain untuk menuju ke sekolah.

Sebagian ada yang jalan berkelompok, sedangkan aku berjalan sendirian, menembus kabut tipis bersama udaranya yang dingin. Cahaya matahari yang menerobos dedaunan, membuat bercakan cahaya di jalan aspal yang sedang aku lalui.

Saat itulah aku mendengar suara sepeda motor yang datang dari arah belakang. Suara knalpotnya sedikit agak berisik, lalu kutengok sebentar, pengendaranya memakai seragam SMA, kemudian aku mencoba untuk tidak fokus pada itu.

Langsung bisa kusadari ketika sepeda motor itu mulai sejajar denganku, jalannya diperlambat, seperti sengaja agar bisa menyamai kecepatanku berjalan. Serta merta aku merasa berada dalam situasi yang tidak nyaman, bahkan aku gak tahu apa yang harus kulakukan selain terus berjalan. Aku gak tahu apa yang dia inginkan.

Aku hanya berpikir dia adalah salah satu dari anak nakal di dunia, yang suka menggoda perempuan di jalanan. Pikiranku mengembara. Meskipun saat itu banyak orang yang pada mau pergi sekolah, aku merasa harus tetap waspada, khawatir barangkali dia mau berbuat buruk kepadaku.

Aku benar-benar tidak pernah berpikir bahwa dia akan menyapaku kemudian:
“Selamat pagi,” katanya.

Sebenarnya aku bingung bagaimana harus memahami situasi macam itu. Aku mencoba menyembunyikan diriku yang gugup.

Kulihat wajahnya sebentar, dia tersenyum. Aku menjawab sambil mendorong helaian rambutku ke belakang telinga: “Pagi,”
“Kamu Milea, ya?”, tanya dia kemudian, mencoba membuat percakapan
“Eh?” Aku tersentak. Kutoleh lagi dirinya, memastikan barangkali aku kenal, nyatanya tidak.

Dia menatapku dan tersenyum.
“Iya.”, kataku. Alasan utamaku menjawab adalah sekadar untuk bisa bersikap ramah
“Boleh gak aku ramal?” dia nanya lagi
“Ramal?”

Aku langsung heran dengan pertanyaannya. Apa maksudnya? Kok, meramal? Kok, bukan kenalan? Aku tidak mengerti.

“Iya,” katanya. “Aku ramal, nanti kita akan bertemu di kantin.”

Dia pasti ngajak bercanda, tapi aku gak mau. Maksudku, aku tidak mau bercanda dengan orang yang belum kukenal. Asli, aku gak tahu siapa dia. Betul-betul gak tahu. Mungkin satu sekolah denganku, tapi aku belum mengenal semua siswa yang ada di sekolahku, termasuk dirinya. Harap maklum, aku hanya murid baru. Baru dua minggu.

“Mau ikut?” dia nanya.

Enak aja, belum kenal sudah ngajak semotor. Bagaimana bisa begitu mudah baginya? Aku tidak bisa mengerti!
“Makasih,” jawabku tanpa menoleh kepadanya.
“Oke,” katanya. “Suatu hari, kamu akan naik motorku. Percayalah.”

Kupilih diam, karena gak tahu harus gimana.
“Duluan, ya!” katanya kemudian.
Kupakai bahasa wajah, untuk mengungkap kata “iya”.
Habis itu, dia pergi, memacu motornya.

Kupandang dia yang berlalu. Baju seragamnya berkelebatan, dan rambutnya berantakan diembus oleh angin.

Huh!

2
Di kelas, sebelum pelajaran dimulai, aku cerita ke Rani dan Nandan (teman sekelasku yang sudah agak akrab denganku) tentang ada seorang anak SMA bermotor yang tadi bilang mau meramalku.
“Siapa?” tanya Rani.
“Gak kenal,” kujawab bersamaan dengan guru masuk untuk memulai pelajaran.

Waktu jam istirahat, tadinya aku mau ke kantin, tapi sama sekali bukan untuk memenuhi ramalan anak itu. Boro-boro, kepikiran juga enggak. Aku hanya ingin membeli sesuatu untuk kuminum. Tapi Nandan, Ketua Murid kelas 2 Biologi 3, minta waktu ingin ngobrol denganku, katanya ada yang mau dibahas. Dia bilang, kalau aku mau minum, gampang, biar diasaja yang beli. Makasih kataku, kemudian dia pergi ke kantin.

Ketika balik lagi, dia membawa beberapa teh kotak. Saat itu, di kelas, selain ada Nandan, juga ada Rani dan Agus. Hal yang dibahas adalah tentang keinginan mereka untuk menunjuk aku menjadi sekretaris, dan sekaligus menjadi bendahara kelas 2 Biologi 3. Aku, sih, oke-oke saja. Bagiku, gampang, lah, itu.

Pada waktu kami sedang ngobrol, muncul seseorang yang bilang permisi, lalu masuk ke kelas. Nandan, Rani, dan Agus, tahu siapa dia. Orang itu namanya Piyan, siswa dari kelas 2 Fisika 1,
datang memberi aku surat, katanya itu surat titipan dari kawannya, tapi dia tidak menyebut nama kawannya itu.

Dengan sedikit rasa heran, setelah Piyan berlalu, kubaca surat itu:

"Milea, ramalanku, kita akan ketemu di kantin, ternyata salah. Maaf. Tapi, aku mau meramal lagi: Besok, kita akan ketemu.”

Habis itu aku langsung bisa tahu siapa gerangan pengirim surat. Ini pasti dia, orang yang tadi pagi naik motor dan bilang mau meramal.

Nandan nanya ingin tahu surat apa itu, tapi kubilang itu surat biasa saja.

Aku masukkan surat itu ke dalam tas sekolah, untuk kembali menyimak Nandan yang banyak bicara tentang ini itu dan lumayan membosankan.

Serius, dari semenjak kudapat surat itu, aku sudah tidak bisa lagi konsentrasi dengan kata-kata mereka. Entah Nandan ngomong apa. Pikiranku, entah gimana, sebagian besar, mendadak melayang kepada Sang Peramal

3
Hari hujan ketika bubar sekolah. Aku dijemput pamanku. Dia itu adik dari ayahku, mahasiswa Jurusan Arsitektur tingkat akhir di perguruan tinggi swasta yang ada di Bandung, namanya Fariz. Dia sudah lama di Bandung dan kos di jalan Ciumbuleuit.

Ayah nyuruh paman menjemputku, supaya bisa lekas datang ke rumah dinasnya, karena ada sedikit keperluan.

Di jalan pulang, entah gimana, ramalan orang itu yang bilang bahwa besok akan bertemu, terus saja kepikiran.

4
Apa? Besok bertemu? Bukankah besok itu hari Minggu?

Segera aku langsung bisa nebak: ramalannya sudah pasti gagal lagi. Bagaimana mungkin bisa bertemu, kalau tidak di sekolah?

Dari awal, aku sudah tahu dia itu memang tukang ramal amatir! Aslinya sih hanya anak nakal, yang suka iseng menggoda perempuan. Huh!

Atau kalau itu baginya adalah modus untuk mendekati diriku, dia harus segera tahu bahwa aku ini orangnya selektif.

5
Di hari Minggu, waktu aku sedang nyuci sepatu, aku mendengar bel rumah berbunyi, karena dipijit oleh tamu. Aku teriak manggil Si Bibi untuk meladeni tamu itu.

Kebetulan, hari itu, di rumah, hanya ada aku dan Si Bibi. Ayah, ibu, dan adik bungsuku sedang pergi ke Cijerah untuk acara pernikahan saudara.

Si Bibi bergegas nemui tamu itu, lalu balik kembali menemuiku:
“Tamu,” katanya. “Mau ke Lia.” Lia itu nama panggilanku di rumah.

Aku bersihkan tanganku dari busa dan langsung ke sana, nemui tamu itu.

Ya Tuhan, aku kaget, ternyata tamunya adalah Sang Peramal.

Aku senyum kepadanya yang tersenyum kepadaku. Entah gimana, saat itu aku merasa seperti sedang menjalin kontak batin antara aku dengannya, membahas apa yang diramalnya benar-benar terjadi, tetapi tidak saling dikatakan.
“Hei,” kusapa dia.
“Ada undangan,” dia langsung bilang begitu, seraya menyodorkan sebuah amplop dan berdiri, di depan pintu.
“Undangan apa?” kupandangi amplop itu dan sedikit agak bingung.
“Bacalah,” katanya. “Tapi nanti.”
“Oke,” kataku memandangnya.
“Bacalah bahasa Arabnya apa, Yan?”
Dia nanya ke Piyan yang saat itu datang bersamanya.
“Apa, ya?” Piyan balik nanya.
“Oh! Iqra,” katanya menjawab pertanyaan sendiri.
“Iqra, Milea!” kata dia lagi kepadaku.
Aku ketawa tapi sedikit. Entah mengapa, hanya bisa sesekali saja kupandang matanya.
“Aku langsung, ya?” katanya permisi untuk pergi.
“Kok, tahu rumahku?” kutanya.
“Aku juga akan tahu kapan ulang tahunmu.”
“He he he.”
“Aku juga tahu siapa Tuhanmu.”
“Allah,” kujawab sendiri.
“Iya, kan?”
Aku jawab hanya dengan senyum.
“Aku pergi dulu, ya?” kata dia.
“Iya,” kujawab.
“Assalamu ‘alaikum jangan?!” dia nanya.
“Assalamu ‘alaikum,” jawabku.
“Alaikum salam,” katanya.
Aku gak tahu harus bilang apa, selain cuma bisa senyum.

6
Aduh, Tuhan, siapa, sih, dia itu! Tanyaku dalam hati.

Maksudku, selain seorang peramal, aku ingin tahu siapa dia itu sesungguhnya. Dan, mengapa tadi aku harus gugup di depannya?

Aku masuk kamar dan senyum sendiri, terutama karena memikirkan soal ramalannya yang benar. Tapi, kenapa dia tidak membahasnya? Membahas soal ramalan itu? Atau sengaja? Ah, entahlah.

Aku baca surat undangan darinya itu sambil selonjoran di atas kasur.

Itu adalah surat undangan yang ditulis dengan mesin tik di atas kertas HVS:

“Bismillahirrahmanirrahim. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Dengan ini, dengan penuh perasaan, mengundang Milea Adnan untuk sekolah pada: Hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, dan Sabtu.” 

Semua nama hari di jadwal itu, lengkap disertai dengan tanggal. Aku senyum. Di dalamnya ada nama: Tuan Hamid Amidjaya. Itu adalah nama kepala sekolahku, ditulis sebagai orang yangturut mengundang. Aku istigfar! Di tiap sisi kertas, ada gambar hiasannya. Dibikin pake
spidol. Gambarnya bagus. Entah bikinan siapa. Aku suka.

Setelah aku baca surat itu, aku tak mengerti mengapa aku langsung merasa tak ingin pergi dari atas kasurku, aku benar-benar seperti orang yang sedang ditawan oleh rasa penasaran karena ingin tahu siapa dia itu sebenarnya.

Sambil tiduran, aku jadi seperti orang yang sedang menerawang, memandang atap kamarku. Ketika ada terbayang wajahnya, langsung kupejamkan mataku, agar dengan begitu aku bisa mengusirnya,
karena aku merasa itu gak perlu dan gak penting!

7
Ah, sial.
Semua hal tentang dirinya hampir membuat aku lupa untuk melanjutkan tugas nyuci sepatu. Langsung kusimpan surat itu di dalam laci meja belajar, sambil senyum-senyum sendirian, dan langsung pergi ke kamar mandi, menemui sepatuku.

Kucuci sepatu itu dengan pikiran yang penuh dengan dirinya, dan berusaha kulupakan dengan cara menyanyi. Tapi susah, tetap saja kepikiran meskipun sesekali.

Aduh, siapa, sih, dia itu? Setahuku, dia satu sekolah denganku, tapi tidak sekelas denganku. Cuma itu. Itu saja. Tapi, aku tidak tahu siapa namanya. Kenapa dia tidak memberitahu namanya di saat pertama kali jumpa itu? Haruskah aku yang nanya?

Oh, sori, ya, gak mau!

8
Kudengar telepon rumah berdering. Aku senang, karena itu dari Beni, pacarku di Jakarta. Dia satu sekolah denganku waktu masih di Jakarta, dan sekarang kami menjalin pacaran jarak jauh.

Beniku keren, kau harus tahu itu. Dia tampan, meskipun tidak tampan-tampan amat, tapi cukup dan kukira dia baik. Ayahnya seorang artis film terkenal yang kadang-kadang suka aku banggakan kepada ayah-ibuku dan teman-temanku.

Beni sangat menyayangiku. Aku juga begitu kepadanya. Meskipun suka bertengkar, tapi selalu bisa diselesaikan dengan baik. Sayangnya habis itu suka bertengkar lagi. Hampir setiap hari, Beni selalu meneleponku untuk melepas rasa rindu dan hal lain sebagainya.


3. DIA ADALAH DILAN

1
Hari Senin, di tengah-tengah barisan siswa yang ikut upacara, aku berharap tidak ada satu pun orang yang tahu bahwa diam-diam mataku mencari dirinya, meskipun aku sendiri tidak tahu untuk apa juga kucari. Mungkin cuma ingin lihat saja. Tidak lebih. Boleh, kan?

Tapi sampai upacara bendera sudah akan selesai, orang itu, Sang Peramal itu, tak berhasil kutemukan.
Di manakah dia? Hatiku bertanya. Jangan-jangan tidak sekolah? Aku tidak tahu. Ah, ngapain juga kupikirin!

Emang, siapa dia?

2
Seorang guru, tiba-tiba memberi komando dengan melalui pengeras suara meminta seluruh siswa untuk jangan dulu bubar dari barisan.

Kupandang ke depan karena ingin tahu soal apa gerangan,tapi justru di saat itulah aku bisa melihat dirinya.Sang Peramal itu ada di sana, berdiri di depan, menghadap ke arah kami, bersama dua kawannya.

Dia berdiri di sana karena dibawa oleh guru BP (BimbinganPenyuluhan), setelah berhasil ditemukan dari tempatnya sembunyi, untuk menghindar ikut upacara bendera.

Dia dan dua orang temannya disebut PKI oleh guru BPitu. Aku tidak mengerti apa sebabnya seseorang sampaidisebut PKI hanya gara-gara tidak ikut upacara bendera. Entahlah. Apakah karena saat itu aku hidup di jaman ORBA (Orde Baru)?

Nun di sana, di tempat dia berdiri, entah gimana aku merasa yakin, dia sedang menyadari bahwa ada seseorang bernama Milea yang sedang memandangnya di tengah barisan peserta upacara.

Atau tidak?

Tapi yang pasti, sebagaimana yang lainnya, aku juga sedang memandang dia dari jauh dengan perasaan yang sulit kumengerti.
“Dia lagi!” bisik Revi seperti ngomong pada dirinya
sendiri.
Revi adalah teman sekelas, yang berdiri di sampingku.
“Siapa dia?” kutanya Revi
“Dilan.”
“Oh.”

Sejak saat itu aku jadi tahu namanya. Kata Rani, di kelas, setelah upacara bendera, Dilan itu
anak kelas 2 Fisika 1 dan anggota geng motor yang terkenal di Bandung. Jabatannya adalah Panglima Tempur.

Ya namanya Dilan!

Kalau tidak salah aku sering membaca namanya ditulis di tembok-tembok pake pilox. Baru tahu, ternyata dia orangnya!

Sejak semua itu aku betul-betul jadi merasa takut. Aku juga jadi langsung berpikir Dilan pasti sangat nakal dan mungkin jahat. Meskipun aku yakin, dia tidak seperti yang kuduga. Lagi pun kalau benar dia begitu, mengapa juga harus takut, toh, siapa pun dirinya, ayahku seorang tentara, yang akan siap menembaknya jika harus.

Tapi, tetap aja aku merasa harus menjauh darinya. Jangan biarkan dia melakukan apa pun yang akan membuatku dalam kesulitan. Aku tidak ingin membuangbuang
waktu untuk mengenal anak nakal seperti itu secara lebih jauh.

Pokoknya, mulai besok, aku harus waspada seandainya dia berusaha mendekati. Dan tidak perlu terlalu menggubris apa pun yang ia lakukan padaku, jika hal itu adalah bagian dari usahanya untuk melakukan pendekatan. Ini bukan aku bermaksud kasar kepadanya, tapi karena aku tahu itu harus. Kalau dia ingin jadi pacarku, katakanlah begitu, aku yakin dia akan minder setelah tahu siapa Beni. Harusnya, dia mundur daripada harus kecewa karena cinta yang tak sampai.

3
Bubar dari sekolah, cuaca sedang mendung, aku pulang bersama kawan-kawan. Ada Dilan menyusulku dengan motornya. Aku langsung bisa yakin dia pasti akan mengajak aku pulang bersamanya naik motor. Nyatanya tidak, padahal aku sudah menyiapkan berbagai alasan untuk bisa menolaknya.

“Kamu pulang naik angkot?” dia nanya.
Kujawab dengan anggukan yang sedikit agak judes. Harusnya itu cukup untuk membuat dia tahu bahwa aku sedang tidak ingin diganggu, bahkan tidak ingin membuat obrolan dengannya. Pokoknya saat itu aku merasa sedang berubah di
dalam menilainya.
“Aku ikut ...,” katanya di atas motor yang lajunya sengaja dibikin pelan untuk bisa sejajar denganku.
“Ikut apa?” tanyaku tanpa menoleh. Aku hanya tidak ingin menjadi akrab dengannya.
“Naik angkot,” jawabnya.
Aku diam, gak mau meladeni omongannya.
“Boleh aku ikut denganmu?”
Aku ingin bilang: ”Terserah,” tapi aku kuatir dengan jawaban itu nanti dia akan nyangka seolah-olah aku sudah membolehkan. Karena bingung, jadi aku memilih untuk diam.
“Boleh aku ikut denganmu?” dia nanya lagi.
“Gak usah,” kataku akhirnya sambil memandangnya
sebentar.
“Kan, angkot buat siapa aja.”
 Aku diam. Bahkan aku gak tahu harus bersikap gimana ke dia.

Ah! Apa sih maunya orang ini? Lagian kalau dia ikut, emang mau ikut kemana? Kalau mau pulang, pulang aja sendiri!
“Boleh aku ikut denganmu?”
Aku masih diam.
“Boleh?” dia nanya lagi.
“Kamu, kan, naik motor?” kataku dengan nada sedikit ketus.
“Oh! Gampang. Nanti, motorku dibawa kawan,”
katanya.

Terserah deh! Aku diam dan terus berjalan dengan memandang ke depan, bersikap seolah-olah gak mau peduli kepadanya.
“Oke. Aku nyimpen motor dulu ya?” katanya sambil pergi.
“Eh?”

Ah! Sial.

Tak lama setelah itu, dia datang lagi dengan sedikit berlari. Aku tak ingin tahu disimpan di mana motornya. Itu bukan urusanku, termasuk kalau hilang.

Di angkot, dia duduk di sampingku. Itu membuat aku benar-benar jadi kikuk dan mati gaya.
“Ini hari pertama aku duduk denganmu,” bisiknya.
Tidak kurespons, karena gak penting.

Kuambil buku, lalu kubaca. Mudah-mudahan bisa membantu mengalihkan pikiranku kepadanya. Mudah-mudahan bisa membantu membuat dia mengerti untuk jangan mengganggu orang yang sedang baca buku. Tapi dia berbisik, suaranya kudengar pelan sekali menyebut namaku:
“Milea.”
Aku diam. Tidak kutanggapi.
“Kamu cantik,” katanya sesaat kemudian, dengan suara yang pelan tanpa memandangku.

Heh?

Serius, aku kaget. Hampir-hampir tak percaya diaakan bicara begitu.

Aku bingung harus gimana dan berusaha memastikan bahwa kawan-kawanku di angkot, tidak mendengar apa yang dia katakan. Aku merasa seperti malu.
“Makasih,” akhirnya kujawab juga sambil tetap baca buku, dengan intonasi yang datar, tanpa memandang dirinya.

Dengan suara yang pelan bagai berbisik, kudengar dia bicara lagi:
“Tapi, aku belum mencintaimu,” katanya.
Aku diam.
“Enggak tahu kalau sore,” katanya lagi kemudian.

Ih! Suaranya pelan, tapi rasanya seperti petir.

Aku diam, tidak mau merespons omongannya. Dia ngomong lagi: “Tunggu aja.”
Aku masih diam tapi sebetulnya ingin teriak tepat di kupingnya:
“Apa, sih, kamu ini?!” Tapi tidak kulakukan. Aku hanya berusaha untuk bersikap tidak akrab.
Dia bicara lagi setelah diam beberapa saat sebelumnya.
“Aku ramal,” katanya. “Kamu akan segera tahu namaku.”
Mendengar dia ngomong gitu, demi Tuhan, aku ingin langsung bilang ke dia: “Udah tahuuu! Gak usah ramal-ramalan, deh. Udah, deh! Udah tahu! Kamu Dilan, kan? Panglima Tempur geng motor, kan? Geng motor yang suka bikin onar itu, kan? Anak jalanan yang suka nulis namanya pake pilox di tembok rumah orang itu, kan? Kamu Dilan, kan? Udah tahuuu! Udah deh! Mendingan kamu turun.”
Tapi, kata-kata yang keluar malah: “Iya.”

Ketika sudah sampai di pertigaan Jalan Gajah, aku turun dari angkot, dan langsung kaget, karena dia juga ikut turun. Saat itu aku nyaris khawatir bahwa dia akan ikut ke rumahku. Jika benar, aku akan sebisa mungkin berusaha melarangnya. Pokoknya jangan sampai terjadi!

Syukurnya tidak. Dilan pamit pergi, naik angkot lagi, menuju arah sekolah. Aku ramal, dia pasti mau mengambil motornya.

Tadi, sebelum naik angkot, dia sempat bilang:
“Kamu tau, semua siswa itu sombong?”

Aku merasa dia sedang menyindir sikapku kepadanya hari itu. Karena malas menjawab, kupilih diam. Dia berdiri di sampingku yang berdiri di atas trotoar. Aku se-ngaja gak mau langsung pulang, karena khawatir nanti dia akan ikut.

Mengetahui aku diam, dia ngomong lagi:
“Siapa yang mau datang ke ruang BP nemui Suripto?”
Asalnya aku diam, tapi akhirnya kutanya: “Siapa?”
Entah gimana aku seperti gak bisa nahan bicara.
Dia senyum: “Cuma aku.”
“Ooh!” kataku dengan bersikap dingin kepadanya.
“Maaf kalau aku mengganggumu,” katanya kemudian dengan suara pelan.
“Iya,” kujawab. “Tuh angkotnya,” kataku menunjuk angkot yang akan lewat. Aku tahu harusnya gak usah ngomong gitu, karena akan berkesan seolah-olah aku sedang mengusirnya, tapi justeru itu maksudku.
“Aku cuma nganter, takut ada yang mengganggumu,” katanya sambil senyum dan melambaikan tangannya meminta angkot berhenti.

4
Ketika dia pergi, aneh, kemudian ada muncul perasaan bersalah karena sudah bersikap judes kepadanya. Pastilah dia sedih. Pastilah dia kesal. Aku juga pasti akan merasakan hal yang sama kalau diperlakukan orang seperti aku kepadanya.

Sesampainya di rumah, Si Bibi memberi aku surat. Itu surat yang terbungkus dalam amplop warna ungu.

Itu surat dari Beni!

Kubaca suratnya, sambil terus kepikiran soal Dilan yang mungkin hari ini sudah kecewa dengan sikapku.Apa salahnya dia, Milea? Mengapa hari ini kau begitu, padahal baru kemaren kau tersenyum kepadanya dan sedikit terhibur oleh surat undangan yang dia berikan kepadamu?

Maaf.

Aku simpan surat Beni, surat yang penuh kata-kata mendayu berisi soal cinta dan rindu itu.
Kata-kata indah yang dijiplak dari buku Kahlil Gibran dan puisi-puisi yang dia ambil dari majalah remaja tanpa ia cantumkan sumbernya agar aku menyangka itu adalah karyanya. Dia pikir, aku tidak pernah membaca puisi dan kata-kata itu sebelumnya.

Ah, Beni kurang asyik! Maksudku, mungkin aku merasa bosan dengan Beni yang itu-itu melulu. Monoton dan juga biasa!

5
Si Bibi ngetuk pintu, manggil-manggil, menyuruh aku untuk makan. Aku keluar dari kamar dengan isi kepala yang mulai dikacaukan oleh pikiran tentang omongan Dilan di angkot itu:

“Milea, kamu cantik. Tapi, aku belum mencintaimu.Enggak tahu kalau sore. Tunggu aja.”

Kata-kata aneh yang terus nempel di kepalaku bahkan sampai malam harinya. Kata-kata itu, ketika kuingat lagi berhasil membuat aku ketawa sendirian di kamar, dan teriak dalam hati, seolah-olah aku tujukan ke Dilan:

“Mau cinta, mau enggak. Dengar, ya, hai, kamu yang namanya Dilan. Terseraaahhh! Itu urusanmu! Emang gua pikiriiin!?”
Tapi aku senyum habis itu.

Setelah usai shalat Isya, aku dapat telepon dari Beni. Dia bicara lama sekali. Atau sebentar ya? Tapi, aku merasa itu lama sekali.Dan kata Beni, dia mau ke Bandung, nanti, minggu depan. “Lu senang?” Beni nanya apakah aku senang jika dia ke Bandung menemuiku?
Kujawab: “Iya.”

Memang, harusnya aku senang, Beni.

Oke, kalau begitu. Baiklah, aku akan berusaha untuk senang. Insya Allah.
Doain.

6
Itu hari Selasa, aku dapat surat dari Dilan. Entah bagaimana dia bisa nitip suratnya ke Rani. Isi suratnya pendek:

”Pemberitahuan: Sejak sore kemaren, aku sudah mencintaimu – Dilan!”

Aku langsung terkesiap membacanya. Lalu dengan cepat, kututup surat itu. Aku jadi malu sendiri rasanya, dan aku berharap Rani tidak sudah membacanya, tapi kayaknya belum
 4. WARUNG BI EEM

1
Di kantin, pada waktu istirahat, aku duduk satu meja dengan Nandan, Dito, Jenar, dan Rani.

Masing-masing makan batagor sambil bicara ini itu yang gak penting. Mereka semuanya teman sekelas, kecuali Jenar, dia anak kelas 2 Sosial.
“Semua siswa makan di sini, ya?” tanyaku ke Rani.

Sebetulnya itu adalah caraku untuk ingin tahu mengapa aku tidak pernah lihat Dilan ada di kantin? Kata Rani beberapa siswa tertentu lebih memilih nongkrong di warung Bi Eem.
“Oh,” kataku.
Langsung kutebak Dilan pasti di sana.
“Biar pada bisa merokok,” kata Nandan.
“Iya,” kata Rani.
“Kan, dijadiin basecamp geng motor juga,” kata Nandan.
“Iya?” tanyaku dengan diriku yang makin yakin bahwa Dilan selalu nongkrong di sana setiap waktu istirahat.
“Iya,” jawab Nandan.
“Pada gak berani datang ke situ,” kata Jenar.
“Kenapa?” tanyaku.
“Gak tau, males aja kali gabung sama mereka,” jawab Jenar.
“Emangnya pada galak?” tanyaku.
“Enggak, sih,” jawab Rani. “Ya, anak-anak nakal gitu, lah.”
“Katanya suka pada minum-minum di situ ...,” kata Nandan.
“Iya?” tanyaku, sedikit agak kaget mendengar informasi dari Nandan.
“Di sana?” Rani juga nanya.
“Katanya ...,” jawab Nandan.
“Anak SMA lain juga suka pada nongkrong di situ,” kata Dito.
“Iya, kan, markasnya ...,” Nandan menimpali.

2
Sebelum kuteruskan ceritanya, aku ingin menjelaskansedikit tentang warung Bi Eem, biar kamu jadi punya gambaran setiap kali aku menceritakan tempat itu.

Sebetulnya yang disebut warung Bi Eem itu, adalah berupa rumah zaman baheula, yaitu rumah antik peninggalan orang yang lumayan kaya di zaman dulu.

Rumah itu tidak keurus karena suami Bi Eem, sebagai keturunannya, secara ekonomi tidak senasib dengan leluhurnya, bahkan suami Bi Eem berstatus pengangguran.

Dinding rumahnya terbuat dari kayu yang sudah lapuk dimakan waktu. Dicat warna hijau toska tapi sudah pudar karena sudah tidak pernah dicat ulang.

Kamar yang paling depan, oleh Bi Eem disulap jadi warung, menghadap ke arah ruang tamu yang ada di sampingnya. Ruang tamu itu dindingnya cuma setengah, tempat duduk orang-orang yang jajan di warung Bi Eem.

Posisi rumahnya berada di tikungan jalan itu, kalau gak salah bernomor 32. Di sampingnya berdiri sebuah gereja.

Untuk bisa ke warung Bi Eem, kamu harus mau jalan sejauh kira-kira 100 meter dari sekolah.

Di depan dan di samping rumah Bi Eem terdapat halaman. Di halaman depan ada tumbuh dua pohon jambu air. Halaman itu juga sering dijadikan tempat parkir motor oleh beberapa siswa tertentu. Luas halaman yang ada di depannya kurang lebih berukuran 2 kali 8 meter, sedangkan luas halaman yang ada di sampingnya kira-kira berukuran 1 kali 20 meter. Pagarnya berupa tembok yang sering dijadikan tempat duduk oleh siswa yang pada nongkrong di sana.

Tahun 2001, waktu aku ke Bandung, aku merasa sedih ketika tahu rumah Bi Eem sudah gak ada. Sekarang
telah berdiri di sana sebuah gedung mewah sebagai gantinya.

Itulah gambaranku tentang warung Bi Eem.

3
Oke, kembali ke cerita, di mana aku sedang ngobrol bersama Nandan, Dito, Jenar, dan Rani di kantin.Tak lama dari itu, aku terkejut karena melihat Dilan datang ke kantin. Dia datang bersama Piyan dan satu orang lagi yang aku sudah lupa namanya (kalau gak salah Si Akew).

Aku tahu harusnya aku bersikap biasa saja, tapi entah gimana, saat itu secara reflex aku menjadi salah tingkah.

Dia datangi meja kami dan menyapaku:
“Hei, Milea!”
“Hei,” kujawab langsung dengan suara grogi.
“Cuma nyapa,” katanya.
“Iya,” jawabku dengan senyum dan sedikit agak kaku.
Kamu harus tahu deh, mengapa saat itu aku bersikap jadi sedikit baik kepadanya. Bagiku, itu seperti aku sedang menebus dosa oleh sikap judesku kepadanya waktu dia ikut naik angkot bersamaku.
“Eh, Yan,” tiba-tiba Rani nanya ke Piyan. “Wati gak sekolah, ya?”
“Sakit katanya,” jawab Piyan. “Kenapa?”
“Ada bukunya ketinggalan.”
“Oh, ya, udah,” jawab Piyan. “Pulangnya nanti kuam46
bil.”
“Oke.”
Setelah cuma makan bala-bala (semacam bakwan), Dilan pergi bersama kedua temannya, entah ke mana, mungkin ke kelas, tapi sebelum dia pergi, dia sempat bicara ke Nandan:
“Kamu tau gak?”
“Tau apa?” Nandan balik nanya.
“Aku suka Milea.”
Nandan tersenyum sambil sekilas memandangku.Rani, Dito, dan Jenar pada ketawa. Mukaku pasti merah dengan senyuman rasa bingung.
“Tapi, malu mau bilang,” kata Dilan.
“Itu, sudah bilang?” kata Nandan.
Nandan ketawa kecil, tapi ada rasa kesalnya
“Aku, kan, bilang ke kamu, bukan ke dia.”
“Dia denger, kan?” tanya Nandan.
“Mudah-mudahan.”

Bisa kubaca mata Nandan, kayaknya dia merasa keganggu oleh kata-kata Dilan. Aku tebak, sih, gitu. Cuma nebak. Aku bukan ahli membaca bahasa tubuh. Hanya aku yakin, Nandan pasti langsung gak suka ke Dilan dari semenjak saat itu, dari semenjak Nandan tahu bahwa Dilan menyukaiku. Karena, kata Rani, Nandan itu naksir aku, tapi aku cuma senyum saja mendengarnya, karena mengenai soal itu, aku sudah bisa menduganya sendiri.

Aku bisa tahu dari sikap dan perilaku Nandan kepadaku, termasuk suka nelepon malam hari untuk nanya-nanya soal PR, juga suka nraktir kami makan di kantin.

Dia juga selalu berusaha membuatku ketawa dengan aneka macam bahan lawakan yang sudah sering kudengar dari orang lain, bagiku, itu tak lain dan tak bukan, adalah modus untuk mengambil hatiku.


Tapi Nandan berbeda dengan Dilan, Nandan tidak bisa bebas seenaknya bicara terus terang seperti Dilan.

Aku setuju, kalau ada yang bilang Nandan orangnya baik. Dan, kalau aku boleh jujur, Nandan lebih tampan dari Dilan. Nandan juga jago basket, dan lain-lain. Pokoknya Nandan adalah lelaki idaman tiap wanita pada masanya. (Lima tahun kemudian, aku melihat fotonya nampang di sampul majalah Gadis)

Nandan juga masih jomblo, masih belum punya pacar. Pernah, sih, dekat dengan Pila, anak kelas 2 Sosial, tapi gak tahu kenapa, belakangan hubungan mereka jadi renggang. Tapi jangan nyalahin aku.

4
Setelah istirahat selesai, kami masuk lagi ke kelas untuk ikut pelajaran lainnya.

Kamu tahu ke mana Dilan?

Dia masuk ke kelasku, dan duduk di bangku sebelahku, membuat Rani jadi pindah ke kursi belakang yang memang kosong.

Kok, Rani mau, ya? Heran.

Aku juga heran, kenapa tidak seorang pun yang berani ngusir Dilan? Nandan sebagai dirinya Ketua Murid, cuma bisa diam saja.

Sejujurnya, aku sendiri merasa risih dengan kehadiran Dilan. Tapi, mau gimana lagi? Masa, harus kuusir. Gak enak.

Dia minta kertas, lalu kukasih. Di kertas itu, dia nulis:

Informasi:
Daftar orang-orang yang ingin jadi pacarmu:
1. Nandan (Kelas 2 Biologi)
2. Pak Aslan (Guru Olahraga)
3. Tobri (Kelas 3 Sosial)
4. Acil (Kelas 2 Fisika)
5. Dilan (Manusia)


Aku senyum membacanya. Kemudian, kulihat dia mencoret semua nama di daftar itu, kecuali nama dirinya.
“Kenapa?” kutanya, maksudnya kenapa semua dicoret kecuali nama dirinya?
“Semuanya akan gagal,” dia bilang begitu dengan berbisik.
“Kecuali kamu?” tanyaku.
“Iya,” kata Dilan sambil senyum. “Doain.”
"Iya", kataku pelan sekali. Ah! Jantungku berdenyut.

Waktu itu, kawan-kawanku sibuk dengan dirinya sendiri, seolah-olah tidak merasa terganggu oleh hadirnya Dilan, meskipun aku yakin mereka pasti gak suka.

Kulihat Nandan, duduk terus di bangkunya, seperti orang bingung yang gak suka ke Dilan, tapi tidak tahu harus berbuat apa. Pak Atam, guru pelajaran Bahasa Indonesia, sudah datang masuk kelas, tapi Dilan tidak pergi. Tetap saja dia duduk.

Edan ini orang, pikirku! Dia benar-benar ikut pelajaran Pak Atam.

Sambil berbisik, aku ngomong ke dia:
”Nanti, kamu dialpain di kelasmu.”
“Gak apa-apa,” jawabnya seraya tetap memandang ke depan, menyimak pelajaran, sampai akhirnya Pak Atam tahu ada seorang penyelundup:
“Kenapa di sini?” tanya Pak Atam.
Semua kawan-kawan sekelas memandang ke arah Dilan. Muka mereka seperti puas karena akhirnya Pak Atam tahu dan menegurnya.
“Salah masuk,” jawab Dilan.
Dilan beranjak dari duduknya dan pergi diiringi tatapan Pak Atam yang tidak respek kepadanya.

5
Waktu bubar sekolah, Dilan nyusul untuk jalan di sampingku dan bilang:
“Aku harusnya ngajak kamu pulang naik motor.”
Kujawab, “Gak usah.”
“Tapi gak jadi,” kata Dilan. “Karena aku tahu kamu akan bilang gak usah.”

Mendengar itu aku senyum, kupandang dia sebentar dan dia juga senyum.

Kalau harus jujur, sebetulnya aku bisa aja nerima ajakan Dilan untuk pulang naik motor berdua dengannya, tapi aku merasa belum waktunya. Benar-benar itu lebih karena aku tidak ingin dilihat terlalu dekat dengan dia dan aku tidak tahu mengapa. Soal bahwa Dilan adalah anggota geng motor yang harus aku waspadai, kukira Dilan tidak seperti yang aku duga. Dia malah selalu bisa membuat aku tersenyum. Setidaknya begitulah yang aku pikirkan saat itu.
“Aku mau datang ke rumahmu,” katanya tiba-tiba. “Malam ini.”
Hah? Aku kaget.
“Jangan!”
“Kenapa?” dia nanya.
“Ayahku galak.”
“Menggigit?”
“Serius, jangan!”
“Aku tidak takut ayahmu.”
“Jangan!” kataku. “Pokoknya jangan.”
“Aku mau datang,” katanya sambil berlalu.
“Jangan, ih!”

Tanpa aku sadar, aku bicara dengan sedikit agak teriak. Aku jadi merasa malu. Kupandangi banyak arah, berharap tak ada orang yang akan denger.

6
Malamnya, beneran Dilan datang.

Itu, kira-kira pada pukul tujuh malam. Awalnya kudengar suara motor, masuk ke halaman rumahku. Aku yang sedang makan malam, langsung bisa yakin, tidak salah lagi, itu pasti Dilan. Aku Kenal suara motornya.

Aku lekas masuk kamar bersama piring makan malamku dan bersama perasaanku yang langsung tak
karuan. Biasanya ayahku jarang ada di rumah, tapi sudah hampir tiga hari ini dia cuti.

Malam itu, ayahku sedang ada di ruang tengah, sibuk membetulkan radio CB-nya. Ibuku juga di sana,
sedang mencatat urusan kegiatan anggota Persit Kartika Chandra Kirana (PERSIT adalah akronim dari Persatuan Istri Tentara).

Kutebak jika bel rumah berbunyi, maka salah satu di antara merekalah yang akan membuka pintu, menyambut Dilan (kalau benar tamu itu adalah Dilan).

Ya, Tuhan, bisikku dalam hati. Kututupi kepalaku dengan bantal sambil tiduran di kasur. Entah siapa yang buka pintu, aku gak tahu. Pasti ada dialog di sana, bicara dengan Dilan, tapi tidak bisa kudengar. Aku ingin tahu, tapi aku merasa akan lebih baik jika tetap diam di kamar.

Tak lama kemudian, terdengar lagi suara motor yang pergi dari halaman rumahku. Ya, jika benar itu Dilan, maka dia sudah pergi.

Dengan aneka macam pikiran yang memenuhi kepalaku, aku duduk di kursi belajarku, meneruskan makan malamku sampai habis, sambil terus kepikiran soal Dilan yang datang. Lepas itu, aku keluar dari kamar untuk menyimpan piring makanku.
“Tadi ada tamu,” kata ibu yang berpapasan denganku.
“Oh? Siapa?” tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Nanyain kamu,”
“Siapa?” kutanya.
“Katanya utusan kantin sekolah,” jawab ibu sambil memasukkan buku ke dalam laci di meja tengah.
“Utusan, apa, sih? Kayak nabi aja,” kudengar ibu seperti menggerutu.

Hah? Utusan Kantin? Aku nyaris ketawa. Aku makin yakin itu pasti Dilan.
“Ngapain?” tanyaku.
“Apa itu?” ibu bagai mikir. “Nawarin menu baru.”
“Menu baru kantin?”
“Iya.”
“Ha ha ha ha.”
Kali ini, aku tidak bisa nahan ketawa.
“Malem-malem nawarin menu. Aneh-aneh aja,” kata ibu.
“Ha ha ha. Terus, Ibu bilang apa?” tanyaku.
“Tau, tuh! Ayah yang ngobrol.”
Selesai dari gosok gigi, pas aku mau kembali ke kamar, telepon rumahku berdering. Aku lebih dekat ke tempat telepon, sehingga aku yang ngangkat dan itu adalah telepon dari Dilan, buatku, untuk yang pertama kalinya. Tidak usah ditanya bagaimana dia tahu nomor telepon
rumahku. Kukira dia banyak akal.
“Hallo?” kusapa yang nelepon.
“Selamat malam.”
“Malam.”
“Bisa bicara dengan Milea?”
“Iya, saya.”
“Aku Dilan.”
“Hey.”
Mendadak jantungku langsung deg-degan.
“Milea, bisa bicara dengan aku?”
“Iya.”
“Tadi, aku datang.”
“Iya.”
Aku langsung senyum, mengingat apa yang dikatakan oleh ibu bahwa dia mengaku utusan kantin sekolah yang nawarin menu baru, tapi tidak kubahas soal itu ke Dilan.
“Kau tau aku datang?” tanya dia.
“Tau.”
“Kau tau kenapa aku datang?”
“Kenapa?”
“Kalau aku gak datang karena takut ayahmu, aku pecundang.”
Aku senyum
“Jadi, aku datang,” katanya. “Kalau dimarah, bagus.”
“Kok bagus?”
“Kalau dimarah, nanti kamu jadi kasihan ke aku.”
Dilan ketawa. Aku hanya senyum.
“Kasihan gak?”
“Tadi dimarah?” kutanya dia.
“Enggak.”
“Syukurlah.”
“Tadi, ayahmu bilang, kamu sudah tidur.”
“Oh.”
“Kenapa sekarang bisa ngomong?” tanya Dilan. “Kamu ngigau?”
“Iya.”
“Ha ha ha ha ha.”
Waktu dia ketawa, sebenarnya aku juga ingin ketawa, tapi pasti kutahan. Jual mahal sikit, laah!
Selain itu, aku juga khawatir ayah dan ibu mendengar obrolanku, jadi kuusahakan bicara yang singkat-singkat saja dengannya. Ingat, waktu itu aku masih anak SMA yang masih merasa gak enak kalau mereka tahu itu telepon dari laki-laki, meskipun belum tentu juga mereka akan negur.
“Di mana?” Di luar kesadaranku, tiba-tiba aku bertanya.
“Siapa?” dia nanya.
“Kamu.”
“Kamu?”
“Dilan,” jawabku.
Akhirnya, kusebut juga namanya. Ah, itu adalah hari pertama aku menyebut namanya secara langsung kepadanya. Dia harusnya kaget kenapa aku tahu namanya, atau dia gembira karena ramalannya terbukti benar bahwa aku akan tahu namanya. Tapi, dia tidak membahas soal itu.
“Aku?” tanya Dilan bagai kepada dirinya sendiri. “Aku di Mars.”
“Ketawa jangan?” tanyaku, karena aku menyangka dia sedang melawak.
“Aku di Jalan Mars, Margahayu Raya.”
“Oh, he he he.”
Di Bandung memang ada Perumahan Margahayu Raya, nama-nama jalannya diambil dari nama-nama planet.

7
Setelah usai nelepon, aku langsung ke kamar lagi. Sebelumnya ayah nanya: “Telepon dari siapa?
Kujawab: “Dari Beni.”

Dan di kamarku, selain kupakai untuk menyelesaikan tugas PR, sebagian otakku aku pakai untuk mikirin dialog ku dengan Dilan di telepon:
“Boleh aku ramal?” dia nanya.
“Iya.”
“Iya, apa?”
“Boleh,” jawabku.
“Aku ramal,” katanya. “Nanti, kamu akan jadi pacarku!”

Gila!

Kayaknya bagi dia itu mudah saja mau ngomong apa pun. Seolah hal itu bukan sesuatu yang berat untuk ia katakan.
“He he he.”
“Percaya gak?” tanya dia.
Maksud dia, dia nanya aku percaya gak dengan ramalannya itu?
“Musyrik,” kujawab.
“Ha ha ha,” Dilan ketawa.
Aku juga ketawa tapi kutahan.

Entah gimana, lambat laun, aku mulai merasa senang kalau sudah ngobrol dengan Dilan malahan suka berharap bisa lama. Tiap bicara dengannya, berasa mendapat sesuatu yang tidak bisa kudapatkan dari ketika ngobrol dengan yang lain. Dan kalau aku harus jujur, aku juga merasa mulai suka kepadanya.
“Hey, Milea.”
“Iya.”
“Tau gak kenapa aku gak langsung jujur ke kamu?”
“Jujur apa?”
“Jujur bilang ke kamu, aku mencintaimu?”
“He he he.”
Mukaku pasti merah.
“Kan, sudah lewat surat?” kataku senyum.
“Maksudku ngomong langsung ke kamu”
“Terus? Kenapa gak langsung?”
“Kalau mau, ya aku bisa,” katanya. “Gampang.”
“Iya. Kenapa enggak?”
“Kalau langsung, gak seru,” katanya. “Jadi biasa.”
Aku ketawa. Dilan juga.
Ah, dia pasti selalu bisa membuat aku ketawa, ya, minimal tersenyum.
“Nanti kalau kamu mau tidur,” katanya. “Percayalah, aku sedang mengucapkan selamat tidur dari jauh. Kamu gak akan denger.”
Aku ketawa kecil

8
Di atas kasur, selagi mau tidur, aku dilanda kebimbangan.

Haruskah terus terang, aku bilang ke Dilan, sebagaimana dia begitu mudahnya berterus terang, bahwa aku sudah punya pacar? Haruskah terus terang, aku bilang ke Dilan, sebelum dia tahu sendiri, dan lalu kecewa, bahwa aku sudah punya pacar?

Iya, kayaknya harus bilang. Aku harus bilang ke Dilan bahwa aku sudah punya pacar, biar sejak itu Dilan akan berhenti mengejarku dan langsung membuat aku sedih, karena tidak akan ngobrol lagi dengannya di telepon. Tidak akan lagi dideketin orang aneh macam dia, yang kalau aku harus jujur, sebetulnya aku juga suka. Dia itu seru!

Ah tidak! Aku gak mau bilang. Biarin aja.

Atau haruskah aku bilang ke Beni, bahwa ada orang, di Bandung, satu sekolah denganku, namanya Dilan, sedang berusaha mendekatiku?

Kayaknya jangan, deh. Aku tahu Beni, jika kukatakan, justru malah akan nambah masalah daripada berusaha menyelesaikannya. Dia itu sumbunya pendek, gampang meledak.

Ah, kepada siapa aku harus membahas soal ini. Ke Beni? Itu namanya bunuh diri!

Lebih baik aku tidur.

Di luar turun hujan. Kepalaku dipenuhi kata-kata:
“Kamu di mana sekarang, Dilan?”
...
“Oh, iya lupa, tadi kamu sudah bilang: di Mars. He
he he.”
...
“Hati-hati di jalan, Dilan.”

Kututup mataku dengan bantal dan lalu kuingat lagi kata-katanya:
“Nanti kalau kamu mau tidur percayalah
aku sedang mengucapkan selamat tidur dari jauh, kamu
gak akan denger.”

Itu membuat aku langsung menggumam:
“Selamat tidur juga, Dilan.”

Habis itu, aku senyum bagai malu pada diriku sendiri.


5. PAPAN PEMBATAS KELAS

1
Aku baru selesai dari kantin bersama Nandan, Hadi, dan Rani. Gak ada Dilan. Dia jarang ke kantin. Aku sendiri juga heran. Kalau memang benar dia sedang mengejarku, kenapa tidak pernah ke kantin menemuiku? Kenapa lebih memilih kumpul bersama teman-temannya di warung Bi Eem? Kenapa tidak berusaha bisa duduk di kantin denganku. Bicara denganku. Setidaknya dengan itu, aku
bisa tahu langsung darinya, benarkah dia suka ngeganja seperti yang dikatakan oleh Nandan dan Dito? Benarkah dia suka minum minuman keras, seperti yang dikatakan oleh Nandan, Jenar, dan Rani? Benarkah dia itu playboy, punya banyak pacar di mana-mana, seperti yang dikatakan oleh Nandan?

Jika aku ingin tahu tentang Dilan sebenarnya, aku tidak bermaksud mau ikut campur urusan Dilan. Siapalah aku ini. Dilan bukan pacarku, apa urusanku memikirkan diri dan kehidupannya, tapi aku tidak tahu mengapa ingin selalu mengetahui dirinya dengan lebih jauh lagi. Apalagi aku selalu mendapat informasi yang buruk tentang Dilan. Sebenarnya, aku tidak ingin langsung percaya
tentang semuanya itu dengan gampang.

Aku betul-betul ingin nanya langsung ke orangnya, dan jika rumor itu benar, ya, sudah, aku jadi tahu siapa dirinya. Habis itu bagaimana aku harus bersikap ke dia, ya, itu adalah hakku.

Saat itu bagiku, Dilan memang masih begitu misterius, yang selalu membuat aku penasaran untuk ingin mengenalnya lebih jauh!

Ah, Tuhan! Kenapa aku jadi gini

Sumber๐Ÿ‘‡๐Ÿ‘‡๐Ÿ‘‡